Sabtu, 03 Januari 2009

mualllaf

Seorang jurnalis Yahudi*, Leopold Weiss:

Pemandangan kaum muslimin yang sedang shalat menjadi benang pertama dalam kisah keislamannya. Dia menuturkan kisah keislamannya dalam bukunya yang berjudul The Road to Mecca (Jalan ke Mekah).

Dia bercerita, “Pada musim gugur tahun 1922, aku tinggal di sebuah rumah di kota tua al-Quds. Seringkali aku duduk-duduk di dekat jendela yang memanjang di atas halaman luas di belakang rumah itu. Halaman itu milik seorang laki-laki Arab yang biasa dipanggil ‘Pak Haji’. Dia sering menyewakan keledai-keledainya untuk tunggangan dan angkutan barang. Dia menjadikan sebagian halaman itu sebagai tempat singgah bagi kafilah-kafilah. Di siang hair, tubuh-tubuh onta gemuk biasa menderum di halaman tersebut. Sejumlah laki-laki selalu ramai, serius mengurusi unta-unta dan keledai-keledai itu. …Pak Haji sendiri selalu mengumpulkan mereka beberapa kali di siang hari untuk shalat. Mereka semua berdiri dalam satu shaf yang memanjang, dan Pak Haji yang menjadi imam. Mereka ibarat sebuah pasukan kalau dilihat dari gerakan-gerakan mereka. Semuanya serempak membungkuk ke arah Mekah, kemudian menyungkur sujud. Dahi-dahi mereka menempel ke bumi. Mereka mengikuti ucapan-ucapan pelan pemimpin mereka. Dia berdiri di antara rukuk dan sujud, dengan meletakkan kedua kakinya. Yang tak beralas di atas sajadahnya yang khusus untuk shalat, meletakkan kedua tangannya di atas dadanya, dan menggerak-gerakkan bibirnya tanpa suara., tenggelam dalam kekhusyukan yang dalam. Engkau akan dapat melihat kalau dia shalat dengan segenap jiwanya. Aku benar-benar dibuat gelisah melihat shalat yang begitu mendalam diikuti gerakan-gerakan tubuh yang otomatis. Maka, pada suatu hari aku bertanya kepada Pak Haji, karena dia paham sedikit-sedikt bahasa Inggris., “Apakah Anda benar-benar yakin bahwa Allah melihat penghormatan-penghormatan yang Anda tampakkan kepada-Nya dengan mengulang-ulang rukuk dan sujud itu? Bukankah lebih tepat kalau seseorang memisahkan lalu shalat kepada Allah dengan hatinya? Untuk apa semua gerakan-gerakan tubuh Anda itu?” Hampir-hampir aku tidak mampu melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu tanpa merasa bersalah dan mencela diri sendiri. Hal itu karena aku tidak berniat melukai perasaan orang tua yang salaeh ini. Akan tetapi, Pak Haji tidak menampakkan sedikit pun tanda-tanda tersinggung. Malah mulutnya melebarkan senyuman. Dia menjawab, “Kalau begitu, dengan cara apakah kita menyembah Allah? Bukankah jasad dan ruh itu Allah ciptakan bersamaan? Jika demikian halnya, tidak wajibkah manusia shalat dengan jasadnya sebagaimana dia shalat dengan ruhnya? Dengarlah, saya akan memahamkan Anda mengapa kami kaum muslimin melaksanakan shalat sebagaimana yang kami lakukan selama ini. Kami mengarahkan wajah-wajah kami ke arah Ka’bah, Baitullah al-Haram, di Mekah, dan seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada juga menghadap ke arah Ka’bah dalam shalat mereka. Kami ini seperti satu tubuh. Allahlah yg menjadi pusat pikiran kami saat itu.

Pertama-tama kami berdiri lurus, lalu membaca sejumlah ayat dari al-Quran al-Karim dengan penuh keyakinan bahwa ia adalah firman Allah yang diturunkan kepada manusia. Maksudnya agar kami menjadi orang-orang yang selalu lurus dan ridha dalam kehidupan dunia. Kemudian—untuk mengingatkan diri-diri kami—kami mengucapkan bahwa tidak ada satu pun yang berhak disembah kecuali Allah. Lalu kami rukuk karena kami menganggap Allah ada di atas segala sesuatu. Kami memuji kebesaran dan keagungan-Nya. Sesudah itu kami sujud meletakkan dahi-dahi kami ke tanah dengan penuh kesadaran bahwa kami asalnya tidak ada dan berasal dari tanah, dan bahwa Dialah yang menciptakan kami. Dia Tuhan kami Yang Mahatinggi. Lalu kami mengangkat wajah kami dari bumi dan duduk berdoa kepada-Nya dengan harapan Dia mengampuni dosa-dosa kami, mencurahkan rahmat-Nya kepada kami, memberi hidayah ke jalan-Nya yang lurus, dan melimpahi kesehatan dan rezeki kepada kami. Kemudian kami sujud untuk kedua kalinya ke bumi, meletakkan dahi-dahi kami ke tanah di hadapna keagungan Zat Yang Maha Esa lagi Mahatunggal. Setelah itu, kami duduk meluruskan punggung kami, berdoa kepada Allah dengan harapan Dia melimpahkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Yang telah menyampaikan risalah-Nya kepada kami, dan kepada seluruh Nabi sebelum beliau, serta memberkati kami dan seluruh orang yang mengikuti jalan-Nya. Kami memohon kepada-Nya agar melimpahkan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Akhirnya, kami memalingkan wajah kami ke kanan dan ke kiri seraya berucap: Assalamu’alaikum warahmatullahiwa barakatuhu, memberi salam kepada seluruh orang saleh di mana pun mereka berada.”

Kemudian Muhammad Asad (Leopold Weiss) berkata, “Beberapa tahun kemudian, aku menyadari bahwa Pak Haji dengan penjelasan yang panjang lebar itu telah membukakan pintu awal buatku untuk masuk Islam. Akan tetapi, sampai saat itu, yaitu sebelum aku dipenuhi pikiran bahwa Islam suatu ketika mungkin menjadi agamaku, aku mulai merasakan ketenangan yang tidak seperti biasanya setiap kali aku melihat—dan sangat sering aku melihat– seorang laki-laki berdiri dengan kaki telanjang di atas sajadahnya, atau di atas tikar dari daun kurma, atau di atas tanah kosong, bersedekap dan menundukkan kepalanya, tenggelam dengan urusan dirinya, lupa dengan segala yang sedang terjadi di sekelilingnya, baik itu terjadi di salah satu masjid atau di tepi sebuah jalan yang ramai. Laki-laki yang percaya diri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar