Sabtu, 03 Januari 2009

Tahun Baru di Jalur Gaza: Cuma doa senjata kami yang tersisa



CUMA DOA, SENJATA KAMI YANG TERSISA
2009-01-02 17:24:00

kispa.org-"Musik tahun baru kami adalah deru suara
pesawat tempur Israel, kembang api tahun baru kami
adalah percikan-percikan sinar dari misil-misil
Israel," kata Raed Samir, seorang pemuda Gaza dengan
nada sendu.

Itulah gambaran tahun baru di Jalur Gaza, di saat
penduduk dunia bersuka ria merayakan tahun baru dengan
hura-hura dan pesta kembang api. Dimana-mana
disampaikan pesan tahun baru yang penuh harapan, tapi
tidak bagi warga Gaza yang memulai tahun baru dengan
penderitaan yang mungkin akan berlangsung lama akibat
kebiadaban kaum Zionis Yahudi Israel.

"Lihatlah ke luar, pesawat-pesawat tempur F-16
tersenyum padamu, misil-misil menari untukmu, zanana
(suara gemuruh) bernyanyi untukmu," itulah bunyi sms
yang diterima Fathi Tobal, juga warga Gaza dari
seorang temannya.

Tobal dengan sinis berkata,"Sementara orang lain di
seluruh dunia berpesta, kelihatannya pasukan udara
Israel sedang berusaha memberikan kami kembang api."

Apa yang dirasakan rakyat Palestina sekarang? Banyak
diantara mereka yang merasa diabaikan dan dikhianati
oleh masyarakat internasional. "Dunia seharusnya
membuka mata, daripada menari-nari dan minum-minum,
mereka seharusnya menghentikan sebuah holocaust yang
sedang dialami rakyat Gaza. Dunia internasional
seharusnya sudah menghentikan dan melindungi hak-hak
kami dibawah penjajahan Israel," kata Asad Abu
Sharekh, seorang profesor dan pengamat politik.

Warga Gaza bernama Marwan, 40, mengatakan, di
apartemennya yang cuma dua kamar kini ada 25 anggota
keluarganya yang mengungsi untuk menghindar dari
serangan udara Israel. "Orang tua, saudara perempuan,
saudara lelaki saya terpaksa mengungsi karena khawatir
dengan bombardir Israel di tempat tinggal mereka,"
ujarnya.

Banyak keluarga di Gaza kini mengungsi ke rumah
kerabat atau ke gedung-gedung sekolah. Meski di tempat
itu juga mereka tidak aman karena Israel tidak pandang
bulu menjatuhkan bom-bomnya. Masjid-masjid pun menjadi
target serangan pasukan Zionis biadab itu.

"Seperti yang kalian lihat, pesawat-pesawat Israel
menebarkan ketakutan dimana-mana. Saya berharap
anak-anak muda di tempat lain, melakukan sesuatu
sebagai bentuk solidaritasnya pada kami, anak-anak
muda di Palestina.

Pada tahun baru, rakyat Palestina biasanya mengucapkan
"Kul am wa antum bi khoir" (Semoga Anda selalu sehat
dan selamat). Tapi tahun ini, warga Palestina di Gaza
saling mengucapkan "Kul qasif wa antum bi khoir"
(semoga Anda selamat setelah pengeboman). Sungguh
Ironis.

Sebagian warga Gaza yang bertahan di rumah-rumah
mereka tidak berani keluar. Anak-anak tak lagi pergi
sekolah, para lelaki tidak bisa bekerja bahkan salat
pun kini di rumah saja, karena masjid-masjid banyak
yang hancur. Para orang tua langsung meraih
anak-anaknya, jika melihat mereka mendekat ke jendela
atau membuka pintu untuk sekedar mengintip situasi di
luar.

Abu Anas Al-Banna beserta isteri dan 10 anaknya kini
cuma bisa berdiam diri di rumah kecil mereka di Gaza
City. Selama enam hari ini mereka merasakan getaran
dan suara dentuman yang memekakkan telinga akibat
ledakan misil-misil Israel.

"Kematian mengintai kami semua. Saya sendiri panik dan
rasanya ingin berteriak, tapi tak bisa. Saya harus
kuat demi anak-anak saya," kata seorang ibu sambil
memeluk erat Sami, puteranya yang baru berusia tiga
tahun dan tidak berhenti menangis.

"Tidak ada jeritan ataupun air mata yang bisa
menyelematkan kami. Berdoa. Doalah satu-satunya
senjata kami yang tersisa," kata Abu al-Banna.

Saat malam menjelang merupakan saat-saat yang
menakutkan bagi keluarga al-Banna. Lina, 14, salah
satu anak perempuan al-Banna, dari sudut tempat
tidurnya cuma bisa berbisik bahwa ia sangat ketakutan
saat malam tiba. Saudara lelakinya, Anas, juga masih
ketakutan setelah beberap jam bombardir yang dilakukan
Israel ke pemukiman mereka. Tubuhnya gemetar. "Saya
tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Saya kehilangan
semua rasa indera saya," kata Anas.

Sejak serangan Israel hari Sabtu kemarin, keluarga
al-Banna memutuskan untuk tinggal dalam satu ruangan.
Mereka memilih kamar yang tidak ada jendela di sudut
yang paling jauh dari lantai dasar, tempat yang paling
minimal dari resiko terkena bombardir Israel. Abu
al-Banna juga menyiapkan peralatan pertolongan
pertama. Meski demikian, mereka tetap tidak bisa
memejamkan mata saat malam turun di Gaza.

Anak-anak menutup muka atau menutup telinga mereka
jika menderngar deru pesawat tempur Israel. "Setiap
menit, rasanya kami harus siap mengucapkan perpisahan
satu sama lain. Kami tidak pernah tahu apakah kami
akan selamat esok hari," kata mereka pasrah. (ln/iol/eramuslim/ din)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar